Sri Tunruang masih mendapat celaan, dipanggil ‘Tante Gerwani’
Sri Tunruang alias Ning yang tinggal di Aachen, Jerman, merasakan stigma negatif.
Ning tetap tergabung di Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) sampai saat ini.
“Aku ngerasa stigmatisme, ngerasa kebencian.” Jika saya berperilaku buruk, mereka akan mengatakan, ‘Ini benar-benar Gerwani’. Pada tahun 2015, saya masih tetap dicerca dengan panggilan ‘tante Gerwani’ hanya karena memiliki pandangan yang berbeda,” ucapnya.
Menurut Ning, menjelaskan kebenaran secara resmi maupun non-resmi “tetap perlu dilakukan” untuk menghilangkan prasangka tersebut.
Tanpa memberitahukan kebenaran, kita tidak dapat berkembang baik secara hukum maupun di luar hukum,” kata Ning.
Penulis ulang: Willy Wirantaprawira menyatakan bahwa dia memiliki kemampuan untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum tahun depan.
Sementara itu, Willy Wirantaprawira, yang sekarang tinggal di Jerman, mengatakan bahwa ia berusaha untuk bersikap realistis dengan menerima tawaran dari pemerintah terkait penyelesaian kasus pelanggaran HAM yang sedang dia hadapi.
Willy dombené ieu réngsana mangajeng mahasiswa tiasa-keketikeun ka Uni Soviet. Setelah menyelesaikan pendidikannya pada tahun 1968, dia kembali ke Indonesia. Dadiang statusé minangka alumni mahid, Willy kudu ngalami skrining déning Badan Intelijen, malah duweké dipiloti.
Keadaan tersebut mendorong Willy untuk kembali ke Uni Soviet guna mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan studi doktoralnya. Paspor diajustasi oleh KBRI Moskow tahun 1970.
Sejauh ini, jujur saja jika kita menunggu sampai kasus pengadilan selesai, kita bisa menunggu selamanya tanpa melihat akhirnya. Willy mengatakan bahwa pada usianya yang sudah 87 tahun, ia sudah siap untuk meninggal besok dan tidak akan bisa lagi merasakan keadilan.
Saya menganggap ide pemerintah sekarang yang memberikan bantuan kepada kami dan memulangkan warga negara saya sangat positif, sehingga saya dapat berpartisipasi dalam pemilu tahun depan dan berkunjung ke Indonesia bukan sebagai turis, melainkan sebagai bagian dari bangsa Indonesia.
Apa respons dari pemerintah?
Berdasarkan pendapat Mahfud, mengharapkan permintaan maaf dari pemerintah setelah reformasi adalah tidaklah tepat.
Pengarang menyatakan bahwa pemerintah telah mencoba untuk menghilangkan pemikiran negatif yang melekat pada korban peristiwa 1965. Salah sahiji upami ngehapus kebijakan penelitian khusus ka eks PKI, anu mangrupakeun hambalan pikeun maranjangna ngaraga dina waktu lalu.
Janganlah kita yang kunjungi diminta meminta maaf, karena kita yang membongkar semuanya, mengapa kita yang diminta meminta maaf? Kita yang menggulingkan rezim itu,” ujar Mahfud kepada para eksil.
Tentang permintaan untuk mengubah kembali catatan sejarah, yang dianggap oleh para pengasing telah dimanipulasi, Mahfud mengatakan bahwa ia tidak menyetujuinya.
Rubah pemerintahan selalu memiliki perbedaan dalam sejarahnya. Negara akan memberikan dana untuk penelitian dalam menulis sejarah, silahkan. “Tapi bukan pendekatan yang diambil oleh negara dalam penelitian tersebut,” ucapnya.
Negara, ujar Mahfud, “hanya akan menjalankan peraturannya.”
Meskipun telah dilakukan upaya hukum terhadap para pelaku, Mahfud menyatakan bahwa proses tersebut telah dijalankan meski belum membuahkan hasil karena kendala dalam pembuktian.
Sudah bertahun-tahun kita berusaha. Dalam hukum pidana, identitas pelakunya harus terbuka. Semua orang yang terlibat dalam kejadian tersebut telah tiada.
Dalam sistem hukum pidana, tidaklah dibenarkan untuk menghukum individu yang bukan merupakan pelaku langsungnya. Jika pemerintahannya sudah dipicu secara politik, sudah dijatuhkan, sudah berakhir. “Halusso angingi siokah?,” nipaba Mahfud.